Dalam kasus tersebut, Zarwazi lebih jauh meneliti tentang kearifan lokal masyarakat Tanah Datar di Sumatera Barat yang membudidayakan padi dengan sistem salibu.
Kata salibu merupakan akronim dari beragam istilah yang berkembang di Kabupaten Tanah Datar yaitu salinan ibu, salinan satu ibu, atau susunan ibu.
“Makna sederhananya adalah padi cukup ditanam sekali, tetapi dapat dipanen berkali-kali. Setelah batang padi dipotong untuk panen, maka anakan yang tumbuh setelah panen dipotong kembali untuk kedua kali, dirawat kembali hingga menghasilkan padi lagi,” ungkapnya
BACA JUGA: Perangi Narkoba, Kapolda NTB Ajak Atlet untuk Turut Terlibat
Batang padi yang tumbuh pertamakali dianggap ibu, sedangkan anakannya dianggap sebagai ‘salinan’ ibunya karena produksinya mirip.
Menurutnya, teknik salibu sebetulnya kultur lama bertanam padi di daerah lain seperti di Suku Jawa yang disebut ratun atau singgang.
BACA JUGA: Lengkapi Berkas ke Jaksa, Polres Mataram Musnahkan Ganja
Sementara di Suku Sunda disebut turiang. Dia juga dikenal di India, Jepang, Amerika Serikat, Filipina, Brasil, Kolombia, Swizland, Thailand, dan Taiwan.
“Salibu di Tanah Datar hasilnya lebih baik karena hasil panen dapat menyamai panen pertama oleh ibunya,” ujarnya.
BACA JUGA: Tenang, Cuaca di NTB Sedang Cerah, Asyik untuk Jalan-jalan
Dari pengamatan dan penelitaannya dibeberapa wilayah, Zarwazi menegaskan bahwa sistem ratun atau singgang itu memang ditinggalkan karena produksinya rendah.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News