GenPI.co Ntb - Maling atau culik kerap dikaitkan dengan sesuatu yang negatif atau kriminal. Namun, tradisi menculik seorang gadis untuk dikawinkan dianggap hal lumrah oleh masyarakat suku Sasak Lombok.
Dalam tradisi kawin culik, seorang lelaki tidak boleh diketahui oleh keluarga mempelai perempuan. Tradisi ini juga membuktikan kejantanan calon mempelai lelaki.
Dalam menjalankan aksinya, kedua calon mempelai terlebih dahulu membuat perjanjian untuk bertemu di tempat yang sepi agar tidak diketahui orang lain. Biasanya, tempat bertemu tidak jauh dari rumah calon mempelai perempuan.
Jika aksinya diketahui pihak keluarga perempuan, maka akan mendapat perlawanan. Terlebih, jika pihak keluarga tidak setuju anaknya menikah dengan lelaki tersebut.
Meski penculikan anak gadis ini diperbolehkan oleh adat, namun harus memperhatikan aturan. Apabila terjadi keributan di luar ketentuan adat maka pihak lelaki harus bertanggungjawab.
Adapun konsekuensi yang harus dijalankan pihak lelaki jika dalam proses penculikan bertentangan dengan ketentuan yang ditetapkan adalah.
1. Denda pati, merupakan denda adat yang harus ditanggung oleh sang penculik atau sang keluarga penculik apabila penculikan berhasil tetapi menimbulkan keributan dalam prosesnya.
2. Ngurayang, denda adat yang dikenakan pada penculik gadis yang menimbulkan keributan karena proses penculikan tidak dengan persetujuan sang gadis. Karena sang gadis tidak setuju dan sang penculik memaksa maka biasanya penculikan ini gagal.
3. Ngeberayang, denda adat yang harus dibayar oleh sang penculik atau keluarganya dikarenakan proses penculikan terjadi kegagalan dan terjadi keributan karena beberapa hal seperti penculikan digagalkan oleh rival sang penculik, dan sebagainya.
4. Ngabesaken, denda adat yang dikenakan kepada penculik karena penculikan dilakukan pada siang hari yang pada akhirnya terjadi keributan.(*)