Ahli Hukum Nilai Status Amaq Sinta Sang Pembunuh Begal Ambigu

15 April 2022 10:00

GenPI.co Ntb - Keputusan Polres Lombok Tengah (Loteng) menangguhan penahanan terhadap M alias Amaq Sinta dinilai ambigu.

Pasalnya, di satu sisi penyidik yakin jika Amaq Sinta memiliki alasan penghapus pidana berupa pembelaan terpaksa.

Namun di sisi lain tetap melanjutkan proses hukum Amaq Sinta sebagai tersangka dengan melakukan penangguhan penahanan.

BACA JUGA:  8 Fakta Tentang Amaq Sinta Sang Pembunuh Begal

Menurut Dosen Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Mataram Syamsul Hidayat, \ penangguhan penahanan terhadap tersangka pembunuhan merupakan preseden buruk bagi penegakan hukum.

Dia menilai, hal yang tidak lazim tersangka pembunuhan ditangguhkan penahanannya.

BACA JUGA:  Cerita Amaq Sinta Berduel dengan Empat Begal Bermodal Pisau

Dikatakan, tindak pidana pembunuhan sebagaimana dimaksud dalam pasal 338 KUHP yang disangkakan termasuk kategori kejahatan berat yang diancam dengan pidana sampai 15 tahun.

Dia menanyakan, bagaimana jika selama dilakukan penangguhan penahanan tersangka mengulangi perbuatannya.

BACA JUGA:  Polda NTB Ambil Alih Kasus Amaq Sinta Sang Pembunuh Begal

"Amaq Sinta ini harusnya dibebaskan dan polisi mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) karena perbuatannya tidak termasuk tindak pidana," ujarnya.

Berdasarkan pengertian tindak pidana, menurut doktrin hukum pidana, pendapat Van Hammel, Enschede, Simon, Pompe,  untuk menyatakan seseorang melakukan tindak pidana harus memenuhi dua syarat.

Di antaranya, adanya perbuatan yang melanggar peraturan pidana dan tidak adanya alasan penghapus pidana pada diri pelaku, yang merupakan salah satu bagian dari pertanggung jawaban pidana.

"Dalam kasus Amaq Sinta ini, tidak cukup alasan untuk menyatakannya melakukan tindak pidana hanya dengan alasan perbuatan Amaq Sinta sudah sesuai dengan rumusan pasal 338 tentang pembunuhan," tegasnya.

Jika demikian, regu tembak yang menjalankan tugasnya sebagai algojo dengan menembak terpidana mati saat pelaksanaan eksekusi bisa juga dijadikan tersangka pembunuhan karena perbuatannya sesuai dengan rumusan pasal 338.

Atau juga, lanjut ahli hukum itu, dokter yang menyuntik, mencabut gigi, melakukan operasi bisa juga menjadi tersangka penganiayaan karena perbuatannya sesuai dengan rumusan pasal 351 ayat 1 KUHP.

Terhadap kasus Amaq Sinta yang melakukan perbuatannya dengan alasan penghapus pidana yaitu berupa alasan pemaaf ataupun alasan pembenar, melakukan pembelaan terpaksa dalam posisinya sebagai korban begal.

"Mengacu pada pasal 49 KUHP, maka perbuatannya tersebut belum dapat dinyatakan sebagai suatu tindak pidana," jelasnya.

Seharusnya, kata dia, jika Amaq Sinta diyakini memiliki alasan penghapus pidana dengan melakukan pembelaan terpaksa berdasarkan alat bukti yang dimiliki, maka pihak kepolisian harus mengeluarkan SP3.

Misalkan, keterangan dua pelaku begal yang hidup mengakui bahwa mereka melakukan pembegalan dikuatkan dengan barang bukti sepeda motor dan senjata milik begal maka penyidik berwenang membebaskan Amaq Sinta.

"Untuk alasan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan, penyidik berwenang membebaskan Amaq Sinta dengan alasan tidak terdapat cukup bukti atau perbuatan Amaq Sinta bukan merupakan tindak pidana," urainya.

Dijelaskan, kepastian hukum tidak melulu harus diputuskan melalui pengadilan, bisa juga dilalukan oleh kepolisian dengan kewenangan yang ada.

"Sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku di tahap penyidikan, kepolisian memiliki kewenangan menghentikan penyidikan," paparnya.

Hal itu sebagaimana diatur dalam pasal 109 ayat 2 KUHAP dan Pasal 30 PERKAPOLRI No.6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.(*)

Redaktur: Febrian Putra Reporter: Ahmad Sakurniawan

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co NTB