Penuh Haru, Lakon Lampan Lahat, Ceritakan Paman Nabi Muhammad

24 Juli 2022 17:00

GenPI.co Ntb - Dibalik kisah mistis yang tersaji dalam lakon Lampan Lahat, rupanya alur ceritanya membuat haru.

Dalang asal Desa Rumbuk, Kabupaten Lombok Timur Ki Dalang Wildan mengatakan, dalam kisah Serat Menak, menceritakan perjalanan paman Rasulullah SAW yaitu Amir Hamzah atau dalam pewayangan dikenal dengan Jayeng Rane.

Kisah tersebut menceritakan Jayeng Rane menyebarkan Islam dan menumpas musuh Islam.

BACA JUGA:  Terkait Joki Cilik, Ini Harapan Ketua Komisi Pacuan Kuda NTB

Lampan berarti adalah judul atau cerita, sementara Lahat adalah jebakan atau kuburan.

Lampan Lahat berisi akhir hidup Jayeng Rane yang gugur di medan perang melawan musuh Islam. Dalam Islam, Amir Hamzah gugur dalam perang Uhud.

BACA JUGA:  Begini Kisah-kisah Soal Wayang Sasak

"Di lahat atau lubang, bisa juga dimaknai sebagai kubur. Di situlah sejarah Jayeng Rane berakhir bersama kuda perangnya," katanya.

Ki Dalang Wildan bahkan tegas mengatakan tidak akan berani memainkan Lampan Lahat meskipun dibayar berapapun.

BACA JUGA:  Lampan Lahat, Lakon Wayang Sasak yang Harus Bertaruh Nyawa

"Jika ada yang kasi saya Rp100 juta untuk memainkan (Lampan Lahat), saya tidak akan berani. Mohon maaf, salah-salah bisa lari ke keturunan (jadi korban)," ujarnya.

Ki Dalang Wildan menjelaskan, Jayeng Rane dalam wayang Sasak digambarkan dengan ciri khas sederhana.

Berbeda dengan Wayang Jawa, Jayeng Rane digambarkan sebagai Arjuna dengan menggunakan perhiasan mahkota dan gelang.

"Jayeng Rane kalau di wayang Jawa itu Arjuna. Banyak gelang, mahkota, kalau di wayang Sasak bentuknya polos sebagai simbol kesederhanaan," katanya.

Dijelaskan, karakter dalam wayang dibagi dua yaitu wayang kiri dan kanan, dan satunya adalah gunungan wayang.

Wayang kiri menggambarkan sosok antagonis berwatak sombong, dan wayang kanan menggambarkan tokoh utama atau pahlawan dan sosok yang baik.

Dalam wayang Sasak menggunakan bahasa Kawi. Bahasa tersebut untuk memudahkan penonton, karena menggabungkan tiga bahasa, seperti Sasak, Jawa dan Bali.

"Kenapa pakai bahasa Kawi wayang Sasak, diambil garis tengah bahasa Sasak masuk, bahasa Jawa masuk dan bahasa Bali masuk. Cepat dicerna publik," ujarnya.

Ki Dalang Wildan sejak tahun 1973 telah menjadi dalang. Bahkan saat usia sekolah, dia selalu belajar membuat dan memainkan wayang. Itu membuat dirinya kini sering dipanggil untuk pertunjukan wayang.(*)

Redaktur: Febrian Putra Reporter: Ahmad Sakurniawan

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co NTB