Seni Pepaosan Simbol Keberagaman di Lombok Barat

24 November 2021 06:00

GenPI.co Ntb -   Jika berkunjung ke Lombok Barat dan menemukan acara pernikahan, khitanan, ritual menanam padi (selamat dowong).

Maka Anda akan menemukan satu tradisi yang hampir tetap dilakukan. Yakni tradisi seni Pepaosan.

Tradisi seni Pepaosan diperkirakan sudah berumur ribuan tahun. Ada sejak leluhur susu Sasak di Lombok Barat.

Seni Pepaosan merupakan tradisi membaca manuskrip berbahasa Kawi yang ditulis di atas daun lontar dari pohon tal atau pohon siwalan.

Dalm tradisi, biasanya tulisan yang dibacakan berisi tentang riwayat Nabi Muhammad SAW dan para sahabat.

Naskah ditulis dalam bahasa Kawi. Bahasa ini merupakan pengembangan Bahasa Jawa Kuno yang mendapat pengaruh Bahasa Sansekerta.

Suku Sasak yang menjadi leluhur masyarakat Lombok Barat, menerima penyebaran bahasa dari Jawa, lalu disesuaikan dengan budaya setempat.

Penyebaran Hindu-Budha hingga Islam termasuk penggunaan Bahasa Arab di Lombok Barat, ikut mempengaruhi.

Pepaosan sendiri adalah simbol keberagaman. Di Lombok Barat, naskah sastra yang ditulis di atas daun lontar biasa disebut Takepan.

Jumlah keseluruhan tak kurang dari 3.700 buah, dengan beragam aksara dan bahasa. Naskah ini merupakan simbol keberagaman budaya yang berpadu menjadi satu.

Naskah sastra yang tertulis ini umumnya bercerita tentang kisah para raja, kajian agama, petunjuk ritual.

Kemudian petunjuk pergaulan muda-mudi, dan nasihat kehidupan.

Pepaosan dimainkan empat orang dengan mengenakan pakaian adat Suku Sasak. Orang pertama dinamakan pemaos (penembang).

Orang kedua disebut piteges (penerjemah). Orang ketiga disebut penyarub (penyambung), dan keempat disebut pemboa (pendengar).

Seperti halnya kesenian lain, dalam Pepaosan sesajen yang ditempatkan dalam sebuah wadah dari kuningan. Sesajen ini menemani prosesi Pepaosan.

Tembang yang disenandungkan dalam Pepaosan adalah hasil cipta, rasa, dan karsa, yang diatur dalam pola baris dan bait.

Tembang dalam Pepaosan sangat terikat dengan kaidah dan ketentuan yang bersifat baku dan tidak bisa diubah menurut keinginan sendiri.

Tiap tembang memiliki pola guru wilangan atau wicala (jumlah suku kata atau huruf setiap larik) dan guru lagu (suara akhir pada setiap larik).

Dalam sastra Kawi, dikenal sebelas jenis tembang yang menggambarkan perjalanan hidup manusia dari masa prenatal hingga kematian.

Namun di Lombok Barat, biasanya hanya menggunakan enam tembang.

Keenam tembang ini adalah Asmarandana, Sinom, Pangkur, Durma, Dangdang atau Dhandanggula, dan Kumambang atau Maskumambang. (*/berbagai sumber)

 

Redaktur: Zainal Abidin

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co NTB