GenPI.co Ntb - Ada beberapa solusi mencegah permasalahan pangan di Indonesia, salah satunya adalah dengan peningkatan produksi.
Dalam peningkatan produksi pun banyak cara telah dilakukan seperti pelibatan rekayasa genetika, sistem budidaya, teknologi pengendalian OPT dan banyak faktor lain yang berperan dalam proses produksi.
Seperti kondisi ekologi, kondisi geografis dan demografis di Indonesia yang beragam.
Hal inilah yang mendorong Lalu M Zarwazi membuat disertasi program doktoral di Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan judul Karakter Morfofisiologi dan Mekanisme Adaptasi Tanaman Padi Sistem Ratun Modifikasi Salibu (Modified Ratoon Salibu).
Zarwazi menyebutkan, untuk menjawab berbagai masalah dalam memenuhi kebutuhan mereka di suatu wilayah budaya tertentu yang telah berkembang sebagai hasil dari proses hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya, yakni kearifan lokal.
Diterangkan, kearifan lokal dapat menjadi sumber inspirasi dan sumber teknologi untuk mewujudkan dunia tanpa kelaparan.
Planet bumi tanpa kelaparan merupakan komitmen bersama negara-negara di dunia untuk mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals nomor 2 (TPB/SDGs 2).
“Kita bisa padukan kearifan lokal dengan pertanian modern dengan basis riset untuk mengatasi krisis pangan,” katanya, Jumat (29/7).
Dalam kasus tersebut, Zarwazi lebih jauh meneliti tentang kearifan lokal masyarakat Tanah Datar di Sumatera Barat yang membudidayakan padi dengan sistem salibu.
Kata salibu merupakan akronim dari beragam istilah yang berkembang di Kabupaten Tanah Datar yaitu salinan ibu, salinan satu ibu, atau susunan ibu.
“Makna sederhananya adalah padi cukup ditanam sekali, tetapi dapat dipanen berkali-kali. Setelah batang padi dipotong untuk panen, maka anakan yang tumbuh setelah panen dipotong kembali untuk kedua kali, dirawat kembali hingga menghasilkan padi lagi,” ungkapnya
Batang padi yang tumbuh pertamakali dianggap ibu, sedangkan anakannya dianggap sebagai ‘salinan’ ibunya karena produksinya mirip.
Menurutnya, teknik salibu sebetulnya kultur lama bertanam padi di daerah lain seperti di Suku Jawa yang disebut ratun atau singgang.
Sementara di Suku Sunda disebut turiang. Dia juga dikenal di India, Jepang, Amerika Serikat, Filipina, Brasil, Kolombia, Swizland, Thailand, dan Taiwan.
“Salibu di Tanah Datar hasilnya lebih baik karena hasil panen dapat menyamai panen pertama oleh ibunya,” ujarnya.
Dari pengamatan dan penelitaannya dibeberapa wilayah, Zarwazi menegaskan bahwa sistem ratun atau singgang itu memang ditinggalkan karena produksinya rendah.
"Rata-rata hanya seperempat hingga setengah dari panen pertama sehingga dianggap tidak ekonomis. Umumnya hasil padi ratun hanya untuk pakan bebek yang digembalakan di sawah saat bera, Toh, masyarakat Tanah Datar tetap merawat tradisi salibu karena memiliki teknik spesifik," terangnya.
Dalam penelitiannya, ada beberapa varietas padi yang diuji dan mampu mendekati, setara, atau melampaui produksi induknya.
Varietas-vareitas tersebut adalah varietas Batang Piaman yang hasilnya 131,5 persen lebih tinggi dari induknya. Demikian pula Inpari 10 (109,5 persen), Inpari 43 green super rice (GSR) (105,9 persen), Inpari 19 (95,5 persen), Ketan Grendel (90,7 persen), dan Cisokan (101,4 persen).
“Penampilan sisa tunggul jerami varietas tersebut berbatang besar, kokoh, hijau, serta daun lebat,” ujarnya
Lalu Zarwazi juga mengungkap kunci keberhasilan ratun salibu adalah pemotongan ulang pangkal jerami 7 hari setelah panen.
Tunggul jerami yang tersisa dipotong pada jarak 5 cm di atas permukaan tanah. Pada ratun konvensional hal tersebut tidak dilakukan.
Teknik itu membuat pertumbuhan anakan padi seragam.
Demikian pula perakaran yang kemudian muncul mampu menjangkau tanah sehingga proses penyerapan hara dari tanah berlangsung kembali. Pemotongan juga membuat produksi hormon auksin dan sitokinin terpicu.
Rendahnya padi ratun konvensional yang tanpa pemotongan tunggul jerami disebabkan posisi akar yang muncul terlalu tinggi. Dampaknya akar yang tumbuh tidak mampu menjangkau tanah.
“Hasil panen rendah karena nutrisi yang mengisi malai-malai padi mengandalkan nutrisi yang tersisa pada tanaman induk yang menyelesaikan siklusnya. Berbeda dengan ratun modifikasi salibu nutrisi dipasok juga dari tanah dan pupuk yang diberikan,” sebutnya.
Produksi ratun modifikasi salibu benar-benar bisa sama atau atau kurang sedikit atau lebih tinggi dari produksi tanaman induknya.
Perhektar rata rata 80-90 persen dibawah produksi induknya atau 110-120 persen lebih tinggi dari produksi tanaman induknya, contoh pada ratun modifikasi salibu varietas Inpari 43 Agritan GSR jika disalibukan 2 kali (1 musim tanaman induk-2 musim ratun Salibu= 3 musim tanam), produksi rata-rata per hektar per tahun sekitar 22.1 ton.
Sementara itu, Direktur Serelia pada Dirjen Tanaman Pangan, Kementrian Pertanian Moh. Ismail mengungkapkan disertasi yang dihasilkan Lalu Zarwazi berkontribusi besar bagi Kementerian Pertanian.
“Hasil riset ini membuat kami percaya diri mempromosikan ratun salibu diterapkan pada daerah-daerah tertentu yang cocok dengan varietas yang juga cocok," akunya.
Hasil riset ini juga membuka peluang riset berikutnya seperti kombinasi ratun salibu dengan jajar legowo maupun hazton yang juga berkembang di masyarakat.
Bahkan menurut Ismail, teknik ratun salibu dapat juga dikombinasikan dengan pertanian modern yang telah menerapkan combine harveste.
“Penelitian ini membuktikan kearifan lokal dapat digabungkan dengan pertanian modern sehingga upaya dunia mewujudkan bumi tanpa kelaparan dapat berjalan,” imbuhnya.(*)