GenPI.co Ntb - Kebijakan pemerintah untuk menggunakan aplikasi Mypertamina pada setiap pembelian bahan bakar kendaraan dinilai kurang tepat.
Ketua Gelora NTB Lalu Pahrurrozi memberikan kritik pedas pada kebijakan ini. dia menyebut, kebijakan ini sebagai sesuatu yang menyusahkan rakyat. Tak substansi dengan kondisi rakyat yang serba rumit usai 2,5 tahun terkena pandemi Covis-19.
Menurut Ojhie, sapaan akrabnya, aplikasi hal tersebut mengganggu kualitas pelayanan di pom bensin, karena setiap pembayaran mesti menggunakan aplikasi MyPertamina.
"Penggunaan ini bikin ribet dan mengganggu kenyamanan rakyat sebagai pembeli barang. Bukannya pemerintah memperbaiki layanan pada setiap SPBU, tapi malahan menambah rumit," katanya, Selasa (5/7).
Penggunaan aplikasi tersebut, sambungnya, menambah beban belanja rumah tangga, karena setiap pemilik kendaraan mesti memiliki smartphone dengan spesifikasi tertentu untuk mendownload aplikasi MyPertamina. Jelas hal ini cukup menyusahkan.
"Aplikasi ini bikin ribet. Karena para pemilik kendaraan bermotor juga mesti membuat akun pada Linkaja dan akhirnya menyimpan uang disana. Artinya untuk pergi beli solar atau pertalite pengendara ini mesti pergi ke bank, isi rekeningnya," urainya.
"Setelah itu dari bank mengisi saldonya ke linkaja, baru bisa belanja. Atau SPBU mesti ada biaya tambahan dengan menyiapkan layanan transfer saldo ke link aja. Ribet, ini benar-benar membuat susah," sambungnya.
Ojhie menyebut, integrasi MyPertamina dengan Linkaja terkena biaya admin transfer. Misalnya, dari 136 juta kendaraan; setiap hari, ada 50 juta pengendara yang dari bank transfer ke aplikasi Linkaja, maka biaya admin yang didapatkan sebesar 50 miliar perhari.
"Hal ini perlu dipantau dalam konteks persaingan usaha, juga pada konteks kepuasan konsumen," ujarnya.
Ojhie menyebut, secara keseluruhan pemerintah memposisikan rakyat dalam siklus rantai yang paling lemah. Jangan karena mereka berada pada rantai yang paling lemah, mesti menanggung beban kenaikan kenaikan harga BBM.
"Sementara para pengusaha yang menikmati rente dari kenaikan harga komoditas justru mendapatkan insentif pajak. Dimanakah pemihakan pemerintah kepada rakyatnya?," tandas alumni Universitas Hasanuddin ini.